Wednesday, November 17, 2010

Analysis on transparency and accountability of public service

One of factors that affect public service quality is delay of transparent and accountable public service implementation. Therefore, this public service should be performed transparently and accountably by every service unit of the government institutions in order to give impact of the bureaucratic performance in public service to the people welfare.
Effort to create a high quality, transparent, and accountable service, among others, has been legally promulgated within the State Apparatus Empowerment Minister Decree Number 63/KEP/M.PAN/7/2003 on General Principle of Public Service Administration. To give in depth explanation of the Decree, the government issued a supporting Act of the State Apparatus Empowerment Minister Decree Number KEP/26/M.PAN/2/2004 on Technical Guidance of Transparency and Accountability in the Public Service.
In addition to the quality of the public service, there must be a bureaucratic reform, in which reconstruction and modification of governmental system are prefereable, in particular, those related to institutional, managerial, and apparatus human resource aspects. Bureaucratic reform is implemented to create a good governnance. This reform, in addition, also becomes a strategic effort to build more empowered and more productive state apparatus ini carrying responsibilities to the governmental and developmental duties.
However, the bureaucratic reform can not apply effectively without adquate public control mechanism. The mechanism here relates to openness or transparency towards the public views by limiting confidentiality characteristics. In order to accommodate such target, the government, once again, has launched Government Act Number 14/2008 on Public Information Transparency.
One of important elements to implement a transparent state administration as part of public rights to get information access, the government should combat any individual interest that may deter the national goal towards common welfare in responsible manners. The rights on information access is also relevant with the needs for improving the people involvement in the process of desicision making. Public transparency is a significant aspect for the flow of the public information access. Keywords: Transparency, Accountability, and Participation in public service improvement.

Perkembangan Partai Politik di Nigeria

Secara garis besar, perkembangan partai politik yang berlangsung di Nigeria dapat dibagi ke dalam 4 (empat) tahap. Politik kepartaian di negara Nigeria telah mengalami liku-liku keadaan dari waktu ke waktu. Evolusi sistem partai telah mengalami tiga kali "percobaan" dari pihak militer, yang pada setiap dari tiga kasus tersebut selalu melarang keberadaan partai yang ada dan memaksakan diri untuk membuat partai baru yang bebas dari pengaruh daerah atau kelompok etnis tertentu. Hanya sedikit partai yang mampu membangun landasan nasional. Sebagian besar partai terbentuk berdasarkan wilayah, bukan berdasarkan ideologi. Tahap I: Sebelum dan Setelah Kemerdekaan (1944-1966) Akar dari sistem kepartaian di Nigeria dapat kita telusuri sejak awal abad XX, yakni saat terjadi pergerakan kaum nasionalis. Diantara para pemimpin pergerakan yang menonjol muncul nama Herbert Macaulay (1884-1946). Ia digambarkan sebagai "bapak nasionalisme Nigeria". Macaulay dipengaruhi oleh gerakan Pan-Afrika, yang mengadakan kongres secara periodik di Eropa dan Amerika Serikat antara tahun 1919 dan 1946. Kongres ini dipimpin oleh W.E.B. Dubois. Nasionalisme di Nigeria pada awalnya mendapatkan inspirasi dari National Congress of British West Africa, yang pada pertemuan perdananya tahun 1920 diikuti oleh Nigeria, Gold Coast (sekarang Ghana), Sierra Leone, dan Gambia. Pada tahun 1923 Macaulay mendirikan partai Nigerian National Democratic (NND) berpusat di kota Lagos dan aktif hingga akhir dekade 1930an. Partai ini berkeinginan membebaskan Afrika dari belenggu penjajahan. Bentuk partai memasuki tahap baru pada dekade 1930an dengan ditandai kembalinya sejumlah mahasiswa Nigeria yang belajar di luar negeri. Mereka mengadakan pertemuan dan menggagas ide demokrasi dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Adapun tokoh pemuda yang mendapatkan banyak sorotan kala itu ialah Nnamdi "Zik" Azikiwe (1904-1996), seorang dari suku Ibu yang bergabung dengan Macaulay pada tahun 1944 dan membentuk sebuah platform nasional bernama National Council of Nigeria and the Cameroons (NCNC, selanjutnya berubah nama menjadi National Convention of Nigerian Citizens). Tokoh pemuda lain bernama Obafemi "Awo" Awolowo (1909-1987). Ia mendirikan Action Group di Yoruba pada tahun 1948. Setahun kemudian, lahirlah Northern People's Congress (NPC) yang dipelopori oleh Alhaji Sir Ahmadu Bello, seorang pemuka agama (Saurdana) Sokoto dari daerah barat-laut Nigeria. NPC ini didirikan untuk menampung aspirasi warga yang berdomisili di darah utara. Tiga gerakan pemuda di atas (NND, NCNC, dan NPC) sama-sama menyerukan tentangan terhadap faham kesukuan (tribalisme). Namun ketiganya hanya mampu mendapatkan suara di daerah sendiri saat berlangsung Pemilu tahun 1951.Fakta ini menunjukkan bahwa tradisi politik Nigeria berkonsentrasi pada daerah dan kelompok etnis. Pada tahun 1959 berlangsung Pemilu tingkat federal. Ketiga partai ini sekali lagi ikut serta di dalamnya. Tidak ada partai yang meraih kemenangan mutlak dan hasil pemilu berlanjut pada terjadinya koalisi antara NCNC dan NPC. Pemimpin NPC, Ahmadu Bello, sebenarnya berpeluang besar untuk menjadi Perdana Menteri, akan tetapi ia memilih untuk tetap memegang jabatan Perdana Menteri Wilayah Utara karena ia merasakan bahwa jabatan yang sedang ia pegang telah cukup bagus baginya. Akhirnya, Perdana Menteri Nigeria diserahkan kepada ketua partai NPC, Alhaji Sir Abubakar Tafawa Balewa. Balewa inilah yang menjadi PM pertama Nigeria. Sementara itu, pihak oposisi dijalankan oleh Action Grup (AG) yang dikomandoi oleh Awolowo. Tahap II: Republik Kedua (1979-1983) Di tengah persiapan menuju pemerintahan sipil pada akhir era 1970an, rezim Obasanjo melarang politik etnis dengan menetapkan peraturan tentang bentuk partai. Keanggotaan partai wajib terbuka bagi semua warga, nama partai dan masalah yang diperjuangkan tidak boleh mengatasnamakan kepentingan etnis, dan markas besar partai harus berada di ibukota federal, Lagos. Obasanjo juga memimpin pembentukan Federal Election Commission (FEC) untuk mengadakan seleksi partai yang mendaftar, memastikan bahwa setiap partai telah memenuhi kriteria dan aturan baru. Sebanyak 19 organisasi mendaftarkan diri sebagai partai, tetapi hanya lima saja yang lulus uji dan berhak ikut dalam Pemilu 1979. Pemilu 1979 yang memilih presiden baru dimenangkan oleh Shehu Shagari dari National Party of Nigeria (NPN). Ia dinilai oleh banyak kalangan sebagai penerus NPC. Selain menang dalam Pilpres, NPC juga menang dalam National Assembly dan State Assemblies. Sementara itu Obafemi Awolowo hampir saja menang dalam pilpres untuk kedua kalinya bersama Unity Parrty of Nigeria (UPN), yang merupakan penerus dari Action Group. Sementara itu, semangat NCNC kembali dikobarkan lewat Nigerian People's Party (NPP) yang menjagokan Nnamdi Azikiwe sebagai calon presiden. Menjelang Pemilu 1983, NPN dituduh memanfaatkan FEDECO untuk memanipulasi pemilu, mengubah jadual untuk keuntungan kelompok, dan menolak berdirinya partai baru. Pemilu 1983 ini ditandai banyaknya kecurangan dan pelanggaran. Pada saat Shagari memenangkan pemilihan ulang dengan meraih suara yang lebih banyak daripada pemilu sebelumnya (34 persen pada tahun 1979 menjadi 48 persen pada tahun 1983), kredibilitas pemerintah baru mendapatkan pukulan telak. Tiga bulan kemudian, pemerintah mengalami kudeta dari pihak militer. Tahap III: Republik Ketiga (1989-1993) Di tengah usaha menumpas regionalisme dalam partai politik, rezim Babangida mencegah setiap orang yang berpengalaman dalam bidang politik untuk ikut serta dalam pemilu dengan harapan terjadi pergantian "orang lama yang berbaju baru" (old bridge) yang hendak melahirkan semangat dan ideologi kedaerahan dan kesukuan. Rezim Babangida mengambil langkah ini karena regionalisme berpengaruh negatif terhadap kelancaran jalannya pemerintahan sipil. Dalam pidatonya tentang rencana transisi (1987), Babangida mengemukakan bahwa dirinya hanya memperbolehkan dua partai peserta pemilu mendatang. FEDECO diganti oleh National Electoral Commission (NEC). Terdapat 13 kesatuan politik yang mendaftar pada pemilu 1989. Para pendaftar itu diminta untuk membuktikan bahwa mereka telah memiliki kantor pusat dan dukungan di seluruh negara bagian.Mereka juga harus membuktikan bersikap terbuka bagi siapa saja, tanpa memandang perbedaan ras dan agama. Babangida sendiri sebenarnya tidak terlalu peduli kepada partai. Ia menggambarkan partai-partai politik sebagai "sekumpulan orang yang tidak berpendidikan dan berfikiran sempit yang selama bertahun-tahun telah gagal dalam menjalani profesinya." NEC kemudian memutuskan hanya ada enam kelompok yang akan lulus seleksi. Namun setelah mendapatkan maskan dari pihak terpercaya bahwa kelompok-kelompok tersebut dimanipulasi dan ditengarai mendapatkan pengaruh dari politisi lama, maka akhirnya Babangida menolak ketigabelas kelompok tersebut dan menginstruksikan pemerintahannya untuk melakukan manifesto kepada dua partai baru, Social Democratic Party (SDP) dan National Republican Convention (NRC), "satu langkah kecil ke kiri, satu langkah kecil ke kanan, sedangkan pemerintah berada diantara keduanya," demikian Babangida menggambarkan status NRC dan SDP. Tidak satupun dari kedua partai ini berangkat dari kebijakan ekonomi pasar bebas bentukan Babangida, dan bahkan ia membebaskan keduanya untuk menentukan pengurus, warna, dan lambang sendiri-sendiri. NRC dan SDP hampir saja menjadi satu partai yang berbasis kedaerahan; NRC adalah pengusung aspirasi utara, menarik pendukung lama dari NPN, sedangkan SDP adalah pengusung aspirasi selatan, yang pendukungnya berasal dari daerah Yoruba dan Igbo. Hasil pemilu daerah bulan Desember 1990 cenderung mencuatkan kekhawatiran akan terus bertahanya regionalisme karena hanya dihadiri oleh 20 persen pemilih. Banyak dari mereka yang merasa bingung partai mana yang akan dipilih. Pada bulan Oktober 1991 pemilihan tahap awal (primary) gubernur diselenggarakan. Sekali lagi, muncul tanda-tanda campur tangan dari politisi lama. Sebulan kemudian, NEC menangguhkan hasil primari pada 13 negara bagian karena terjadi manipulasi, tertangkapnya sejumlah politisi lama, dan kemudian mengulangi primary di daerah-daerah bermasalah tersebut. Pilpres Nigeria berlangsung pada bulan Juni 1993 dan dimenangkan oleh Moshood Abiola (SDP). Walaupun ia seorang muslim, namun Abiola menjadi presiden sipil pertama dari daerah selatan yang mayoritas penduduknya beragama Kristen; artinya ia menghentikan tradisi muslim dan warga sipil yang hanya berkuasa di daerah utara. Babangida menghentikan pemilu dan menilai calon presiden dari NRC, Bashir Tofa, adalah titipan dari rezim militer. Krisis ini berlanjut pada pengunduran diri Presiden Babangida pada tahun 1993, dan sekali lagi sistem partai menjadi terhambat. Tahap IV: Republik Keempat (sejak 1998) Rezim Abacha mengadakan konferensi konstitusional seperti laporan yang ditulis pada bulan April 1995. Temuan dari kongres tidak diberitahukan kepada khalayak umum namun banyak pihak yang menilai bahwa di dalamnya termuat rekomendasi untuk kembali ke sistem politik multipartai. Abaca segera membentuk komisi pemilihan nasional dan menyelenggarakan pemilu daerah pada bulan Maret 1996 berdasarkan nir-partai atau "zero party". Munculnya partai-partai baru semakin jelas terlihat setelah terbentuknya National Democratic Coalition (NADECO) pada bulan Mei 1994. NADECO sendiri dipimpin oleh Michael Ajasu. Sepanjang tahun 1996, sebanyak 15 partai politik baru terbentuk, namun sepuluh diantaranya akhirnya didiskualifikasi oleh Abacha. Dari keputusan ini, terlihat bahwa Abaca berencana memanipulasi lima partai yang masih bertahan. Setelah Abaca meninggal tahun 1998, tampillah Abubakar. Ia mencanangkan pembentukan sebuah sistem partai yang baru. Ia membentuk Independent National Electoral Commission (INEC) pada bulan Agustus 1998 dengan hasil terbentuknya partai-partai baru yang menjadi pelaku utama lahirnya Republik keempat Nigeria. Partai-partai Politik yang ikut serta dalam pembentukan Republik IV: People's Democratic Party (PDP). Menyebut diri sebagai partai sentris. PDP beranggotakan mayoritas politisi veteran, termasuk sejumlah mantan pejabat militer yang menempatkan diri sebagai oposisi bagi rezim Abacha. Partai ini sukses dalam pemilu daerah 1998 dan mendorong dua partai oposisi untuk membentuk pakta elektoral. PDP juga berprestasi bagus dalam pemilihan National Assembly (1999) dan kandidat yang didukungnya, Olusegun Obasanjo, terpilih sebagai Presiden Nigeria dengan jumlah suara 62,8 persen. Obasanjo kembali terpilih dalam pilpres 2003. All Nigeria People's Party (ANPP). Parta terbesar kedua dan oposisi terbesar. ANPP mengambil posisi yang agak konservatif dan didukung oleh pengusaha kaya. Partai ini adalah pendukung Sani Abacha. Maka dari itu, ada yang menyebutnya sebagai Abacha People's Party. Pakta yang dibuat dengan Alliance for Democracy melahirkan faham liberal. Kandidat ANPP/AD dalam pilpres 1999 adalah Olu Falae, seorang birokrat dan mantan menteri keuangan yang ironisnya pernah dipenjara oleh Sani Abacha. Alliance for Democracy (AD). AD adalah sebuah partai daerah yang memiliki landasan dukungan kuat dari orang Yoruba di barat-daya Nigeria, memenangkan pemilu daerah di enam negara bagian. Reputasi buruk partai ini ialah saat terjadi kerusuhan saling lempar kursi dan meja dalam sebuah rapat.

The Dictatorship of Proletariat

Nothing is so treacherous as the obvious. Events during the past twenty or twenty-five years have taught us to see the problem that lurks behind the title of this part. Until about 1916 the relation between socialism and democracy would have seemed quite obvious to most people and to nobody more so than to the accredited exponents of socialist orthodoxy. It would hardly have occured to anyone to dispute the socialists' claim to membership in the democratic club. Socialists themselves of course -- except a few syndicalist groups -- even claimed to be the only true democrats, the exclusive sellers of the genuine stuff, never to be confused with the bourgeois fake.

Socialism in being might be the very ideal of democracy. But socialist are not always so particular about the way in which it is to be brought into being. The words Revolution and Dictatorship stare us in the face from sacred texts, and many modern socialists have still more explicitly testified to the fact that they have no objection to forcing the gates of the socialist paradise by violence and terror which are to lend their aid to more democratic means of conversion. 

Revolution and evolution may be both reconciled. Revolution need not mean an attempt by a minorty to impose its will upon a recalcitrant people; it may mean no more than the removal of obstructions opposed to the will of the people by outworn institutions controlled by groups interested in their preservation. The dictatorship of the proletariat will bear a similar interpretation.

The throughgoing democrat will consider any such reconstruction as vitiated in its roots. To try to force the people to embrace something that is believed to be good and glorious but which they do not actually want -- even though they may be expected to like it when they experience its results -- is the very hall mark of anti-democratic belief. It is up to the casuist to decide whether an exception may be made for undemocratic acts that are perpetrated for the solepurpose of realizing true democracy, provided they are not only means of doing so. For this, even if granted, does not apply to the case of socialism which, as we have seen, is likely to be democratically possible precisely when it can be expected to be practically successful. 

In any case however, it is obvious that any argument in favor of shelving democracy for the transitional period affords an excellent opportunity to evade all responsibility for it. Such privisional arrangements may well last for a century or more and means are available for a ruling group installed by a victorious revolution to prolong them indefinitely or to adopt the forms of democracy without the substance.

Source: Schumpter, Joseph A. 1994. Capitalism, Socialism, & Democracy. George Allen & Unwin Publisher.

Monday, October 4, 2010

Environmental Vandalism in Mayoral Campaign

A Review on Political Behavior in Semarang Municipality, 2010

According to Dictionary.com, vandalism is defined as “mischievous or malicious destruction or damage of property”. The bottom line of this definition, if I may say here, means an act of destroying or making worse a thing (i.e., property, asset, etc.). The scope of vandalism, among others, can be destruction of the previously steady and well-organized situation. Vandalism I would like to briefly present here is one that of environmenta-related.

Vandalism occurred in political stance, when mayor candidates were having campaigns to the public. The campaign was held to elect Semarang Municipal Mayor for 2010-2015 period. As what local people often met before, vandalism resulting in environmental damage and disgrace was still in practice during the Mayoral Election. Before this event, vandalism also took place in Legislative Election, Presidential Election, and Local Leader Election. The campaign trend of using public space as a means to introduce the candidates to the will-be voters had not changed significantly. It was surely the rights of the campaign organizers to make as creative socialization as possible in order to introduce their supported candidates to the public for the purpose of vote getting. However, I’d rater disagree with the way they violate environmental beauty by place pamphlets, fliers, billboards, stickers and the likes, in such that they deteriorated the environment.

Every election has left the same old story: garbages and wastes after the election had been done. Papers scattered everywhere, making the surrounding environment dirty. A simple question arosen from this case will be, “What can the candidates do for the people, if they keep annoying the environment?” or “Isn’t there any other way to socialize themselves without destroying the environment?”.

Today, Indonesia, like other countries, has experienced advance of technology, in particular, the information technology. The introduction of communication devices such as cellular phone, television, radio, and even the Internet, should have been used to keep in touch with the will-be constituents once a candidate has won the election. They do not need to use the public space as their vehicle towards a successful result. Indeed, they tend to make the environment worse. Campaign ornaments were attached on trees and walls around the blocks where many people generally surpass and do they activities. Sometimes people feel sick of what they are watching. I think it is time to stop this bad habit, unless our environment will be damaged. It is environment where they live, but why do they seem having no responsible manners? What a disappointing behaviour….

Gerakan Sosial, Teori

Gerakan sosial (social movement) merupakan fenomena partisipasi sosial (masyarakat) dalam hubungannya dengan entitas-entitas eksternal. Istilah ini memiliki beberapa definisi, namun secara umum dapat dilihat sebagai instrumen hubungan kekuasaan antara masyarakat dan entitas yang lebih berkuasa (powerful). Masyarakat cenderung memiliki kekuatan yang relatif lemah (powerless) dibandingkan entitas-entitas yang dominan, seperti negara atau swasta (bisnis).

Gerakan sosial menjadi instrumen yang efisien dalam menyuarakan kepentingan masyarakat. Dengan kata lain gerakan sosial merupakan pengeras suara masyarakat sehingga kepentingan dan keinginan mereka terdengar.

Gerakan sosial merupakan jawaban spontan maupun terorganisir dari massa rakyat terhadap negara yang mengabaikan hak-hak rakyat, yang ditandai oleh penggunaan cara-cara di luar jalur kelembagaan negara atau bahkan yang bertentangan dengan prosedur hukum dan kelembagaan negara. Gerakan sosial dapat dipahami sebagai upaya bersama massa rakyat yang hendak melakukan pembaruan atas situasi dan kondisi sosial politik yang dipandang tidak berubah dari waktu ke waktu atau juga untuk menghentikan kondisi status quo.

Peter Burke:

Terdapat dua jenis gerakan sosial: a) gerakan sosial untuk memulai perubahan, dan b) gerakan sosial yang dilakukan sebagai reaksi atas perubahan yang terjadi.

Turner dan Killan (1972):

Gerakan sosial adalah sebuah kolektivitas yang melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu guna menunjang atau menolak perubahan yang terjadi di dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektivitas itu sendiri.

Blumer (1974):

Sebuah gerakan sosial dapat dirumuskan sebagai sejumlah besar orang yang bertindak bersama atas nama sejumlah tujuan atau gagasan. Biasanya, gerakan ini melibatkan cara-cara yang tidak terlembagakan, seperti pawai, demonstrasi, protes, untuk mendukung atau menentang suatu perubahan sosial. Gerakan sosial melibatkan sejumlah orang yang cukup banyak dan biasanya berlanjut untuk rentang waktu yang cukup panjang.

Charles Tilly (dalam From Mobilization to Revolution):

Sistem demokratis cenderung membuka batas-batas represi dan memberikan kesempatan yang luas bagi berbagai pihak untuk memobilisasi kepentingan politiknya menjadi kepentingan masyarakat luas. Dengan kemampuan organisasi yang baik isu-isu yang sifatnya individual mungkin saja dieksploitasi menjadi isu kolektif. Demokratisasi dan keterbukaan yang berlangsung memberi peluang lebih luas kepada berbagai komponen sosial untuk mengaktualisasikan perjuangan kepentingan masyarakat, terutama pada komunitas yang merasa terabaikan.

Pada dasarnya setiap organisasi memiliki kemampuan untuk mengupayakan terjadinya gerakan sosial, namun di dalam skala nasional gerakan sosial paling sering dapat dilakukan oleh partai politik.

Sumber:
Partai Politik dan Gerakan Sosial (Senin, 20 April 2009)
Seminar AMAN "Masyarakat Adat sebagai Basis Politik Gerakan Sosial Indonesia: Antara Prasyaraat, Potensi, dan Cita-cita."

Wednesday, January 27, 2010

Vote Me, Vote Me Not: Which stands are you for?

What can be pride from our political life? Does multi-party system reflect our dream representativeness? In essence, political run knows only to sides when talking about government; one that supports the government and the other that disclaims it. Both sides are like a currency coin, which cannot depart from one to the other. Both create the colour of black-and-white of a nation's politics. While many parties may illustrate political awareness of the nation's constituents (citizens, etc.), they still are the picture of pros and cons. Then, why must multi-party system we use? If Pancasila is our basic ideology, so is the parties'; why do not we compress them (the parties) into as little as two? The one that governs and the other that monitors?

Political parties in Indonesia are more likely companies that offer products. They become outsources of human capitals who look for welfare. These parties come and go, rise and fall, like seasonal goods. I do not see more picture than salespersons who sell programs on the street like street fighters. Everyone wants to be a hero, everyone is consumed by his or her own interest by the help of others (shame on them...shame on them...). What can be a responsible from the shout of "vote me!" when voters have managed a victory to the votees? No responsibility at all! Obedience is left behind when the election is over. How many percent of legislators grat to the people? Not even a penny, I bet. Well, its truly not what people want. Social and economic problems will not end by giving the people financial solution one moment in time. They also wait for obedience fulfillment of their so called "representatives". So far more people know that representatives do nothing but sitting on an air-conditioned room and riding a fancy car.

Non Voting Group

Non voting group (as known as "golput") is about to be tied op by a legal-action. Even rumour says that non voting group is something that breaks the law. To be precisely, God's law (referred to the term "Fatwa Haram"). It is clear that people have not obtained their full freedom: a freedom of self-determination as one of basic rights. When no political party is able to accomodate common interest, then why should the people trust? When government bodies and leaders act as God, the people will suffer. That is what is happening here.

Our resistance towards ballots campaign is no more than disclaiming action. Should we do not go into the ballots, it does not mean that we do not care about the nation's future. Conversely, it shows how we feel sorry that our country has been toyed by a group of opportunists.

I do believe that today there are more clever Indonesians. People can not be fooled again by any cheap trick. When a ballot location fails to gram majority votes, do not blame it on the reluctant citizens. Do not load them with attribute of "low political participation". They have good reason for staying at home instead of going to the ballots. They do have it. They have an idealism of what leaders should be, they have been dreaming about their true leaders. And they have not found them at present.

Legislative candidates and political parties should ask themselves whether they have deserved of being voted. They must ask themselves what they have done, not what they are going to do. "Do I deserve to be elected?" seems to be a hard question to answer, doesn't it?

Neoliberalism Manifesto

One problem of the new liberal is the way he is misunderstood by the old liberals. Most of them have read what has been written here as advocating a return to the days of the Vietnam draft, robber barons, Tammany patronage, and coerced prayer. At the same time the new liberal must be willing to risk misunderstanding. Risk is indeed the essence of the movement - the risk of the person who has the different idea in industry or in government. That is why we place such a high value on the entrepreneur. The economic, social and political revitalization we seek is to come only through a dramatic increase in the number of people willing to put themselves on the line to take a chance at losing all, at looking ridiculous.

Risk taking is important not only in career terms but in the way one looks at the world and the possibilities it presents. If you see only a narrow range of choices, if you are a prisoner of conventional, respectable thinking, you are unlikely to find new ways out of our problems. Neoliberals look at the possibilities with a wide-angle lens. For example, some of us, who are on the whole internationalists and free traders, are willing to consider such bizarre ideas as getting out of NATO, forgetting about the Persian Gulf, and embargoing Japanese cars.

One problem we're trying to address with such suggestion is that American industry's ability to compete has been seriously impaired with the amount of money we have spent in the common defense compared to our competition and that we must find some dramatic way to redress the balance.

Autokrasi vs. Birokrasi

Negara-negara demokrasi yang berhasil bertahan pada tingkat pendapatan tertentu cenderung memberikan hak kontrak dan hak kepemilikan yang lebih aman dibandingkan yang dilakukan oleh negara-negara otokrasi. Namun demikian, perpindahan dari otokrasi menuju ke demokrasi tidak kemudian memperluas hak ini. Otokrasi yang telah berlangsung sekian lama cenderung memberikan hak kepemilikan dan kontrak yang lebih aman dibandingakn negara otokrasi yang hanya bertahan beberapa waktu saja. Hal demikian sejalan dengan harapan teori berdasarkan insentif yang menghadang aturan-aturan otokrat. Selain itu ditemukan pula bukti bahwa pembangunan ekonomi mampu memperbesar kemungkinan munculnya demokrasi kemudian mempertahankan keberadaannya dalam jangka waktu tertentu.

Tugas utama pembangunan, menurut argumen yang dibangun di sini, adalah reformasi atau perubahan kebijakan dan institusi. New Institutional Economics menawarkan sebuah cara berfikir tentang bagaimana mencapai atau memenuhi gambaran di atas, NIE berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dirujuk oleh ilmu ekonomi standar yang bebas dari institusi, dan menawarkan ide-ide mengenai rformasi institusi yang agak berbeda dari dorongan moral (moral exhortations) mekanisme sosial yang bebas insentif. Jika reformasi institusional memerlukan kepemilikan lokal atas program-program reformasi, maka negara-negara miskin/terbelakang dapat belajar dari pengalaman masyarakat yang lebih mapan. Seperti halnya pembangunan bidang agraris yang didorong oleh suatu bangunan "kemampuan untuk berubah" yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan (Evenson dan Kislev 1975; Hayami dan Ruttan 1985), reformasi institusional dapat difasilitasi melalui kemampuan masyarakat pelosok pedesaan untuk menciptakan sebuah rancangan istitusional.

Kesimpulan

Barangkali manfaat utama dari NIE di dalam pembangunan berada di tangan para praktisi lokal. Namun kerangka berfikir intelektual NIE tidak memberi implikasi bagi kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga donor dari luar seperti Bank Dunia dan lembaga-lembaga pemberi bantuan bilateral. Bagian selanjutnya dari bab ini memuat pengamatan-pengamatan perorangan mengenai strategi-strategi yang tepat untuk memperkuat bantuan pembangunan dari sektor eksternal.

Dengan jatuhnya komunisme pada negara Dunia Ketiga dan kegagalan pemerintah negara Dunia Ketiga di dalam merencanakan pembangunan yang berorientasi ke dalam , maka muncullah kecenderungan untuk menerima keberadaan kebijakan dan lembaga yang ramah pasar (market-friendly policies and institutions). Kemakmuran semakin dicapai oleh negara-negara penganut faham demokrasi. Salah satu cara yang ditempuh untuk mengubah diri adalah melalui perubahan mental rakyat/masyarakat mengenai cara kerja dunia. Yakni, hal-hal yang berkaitan dengan perubahan institusional. Satu tugas pendukung yang penting, dan terhitung tidak terlalu mahal untuk dijalankan, ialah memberikan kontribusi bagi pembinaan kalangan elit dan populasi yang lebih luas mengenai mekanisme-mekanisme yang sejalan dengan insentif untuk kerjasama (baca Murrell, bab 11; Cadwell, bab 12). Pada banyak kasus, contoh-contoh yang relevan bukanlah institusi yang terdapat di negara-negara makmur melainkan pola-pola kerjasama yang sukses pada negara-negara yang situasinya hampir sama satu sama lain.

Bantuan luar negeri bilateral yang akhir-akhir ini dianggap penting ialah berupa pengiriman barang dan jasa secara langsung ke penduduk miskin. Tanpa mengubah perilaku yang dijalankan oleh negara penerima bantuan, kegiatan ini sedikit-banyak dapat menanggulangi bahaya kemiskinan dunia. Dalam analogi yang dikemukakan oleh Olson (bab 3), bantuan langsung yang diberikan kepada pihak yang memerlukan lebih berupa "mencari ikan dengan pancing; bukan dengan jaring". Bantuan langsung merupakan sebentuk respon alami yang diberikan oleh seseorang atas perasaan kemanusiaan yang dimilikinya. Tindakan ini didorong oleh lobi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi non-pemerintah yang menerima dana yang disediakan oleh pemerintah. Akan tetapi, program-program bantuan yang ditargetkan pada masyarakat miskin dapat diberikan dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat mendukung perubahan institusional.Satu contoh dari kegiatan ini ialah program pinjaman usaha mikro oleh US Agency for International Development, yang bukan hanya menyediakan dana bagi penerima individu namun juga telah mampu mendorong inovasi institusional di dalam pengadaan pinjaman (Rhyne 1994). Berkenaan dengan kompleksnya perilaku manusia, maka diramalkan bahwa usaha-usaha untuk merangsang perubahan institusional akan sering mengalami kegagalan. Dalam hal ini, perubahan institusional tak ubahnya seperti perubahan teknologi; terdapat banyak kesalahan start sebelum mencapai titik keberhasilan, namun jika harus kembali mengulang ke tahap investasi, maka akan sangat berat. Bagian dari srategi penggunaan dana bantuan secara produktif ialah bahwa negara-negara donor pasti akan berminat untuk menghentikanproyek-proyek yang tidak berjalan baik. Negara-negara dnor perlu menjalankan evaluasi imparsial terhadap proyek-proyek yang sedang berjalan, dengan tujuan menangkal kecenderungan alami dari staf donor yang terlibat di dalam proyek maupun negara penerima donor utuk melebih-lebihkan hasil yang dicapai.

Salah satu tema NIE menyebutkan bahwa pengumpulan dan penyebaran informasi adalah hal yang penting bagi penjalankan fungsi kelembagaan/institusi. Di dalam arena internasional, data-data mengenai tingkat pendapatan, distribusi, pertumbuhan, dan parameter non-moneter kesejahteraan manusia telah menjelaskan perbedaan-perbedaan yang mampu diciptakan oleh penyusun kebijakan yang baik. Saat ini diperlukan data yang lebih banyak tentang institusi: tentang penyediaan layanan pemerintah, parameter hasil kerja lembaga-lembaga pemerintah, tentang kedudukan hak kepemilikan dan hak kontrak pada sektor swasta. Bank Dunia melalui database lembaga bidang sektor perumahan (Mayo dan Angell 1992) boleh jadi merupakan contoh yang tepat dari jenis informasi yang diperlukan di sini.

Sebuah analisis tentang insentif yang menghadang otokrat menyebutkan bahwa tekanan negara donor untuk pembagian kekuasaan/wewenang cenderung akan mengalami kegagalan. Sumber daya yang dapat disaring oleh otokrat dari bidang ini cenderung menghasilkan sumberdaya yang dapat diperoleh dari bantuan yang diberikan. Isentif dari usaha politik potensial bergantung pada kedudukan dan harapan mereka dalam kaitannya dengan perilaku yang ditunjukkan oleh para pesaing politik. Demokrasi yang stabil lahir di negara-negara yang sangat miskin, meskipun tidak banyak juga negara miskin yang berhasil mencapai stabilitas demokrasi.

Keberhasilan tahap I reformasi menghasilkan sumber daya yang berguna bagi masyarakat dan membuka kemungkinan bertambahnya tingkat legitimasi lembaga-lembaga pemerintah, yang menjadi modal kuat untuk memasuki tahap II reformasi. Pada kenyataannya akan sangat sulit bagi setiap orang untuk mengamati seberapa jauh tahap II reformasi dapat dilaksanakan di dalam lingkungan yang sedang mengalami kekacauan makroekonomi, intervensi pemerintah yang terlalu luas, dan penurunan pendapatan nasional. Tahap I reformasi terutama meliputi "penyingkiran" pihak pemerintah secara bertahap dari keterlibatan ekonomi, sedangkan tahap II reformasi mencakup tugas yang lebih penting di dalam meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah. Dengan mempertahankan bantuan utama hingga negara mampu meraih keberhasilan yang nyata di di dalam menjalankan reformasi melalui kebijakan yang kuat, negara donor dapat mengubah insentif yang menghadang para pemimpin politik dan oleh karenanya menambah keuntungan yang dihasilkan melalui reformasi ekonomi. Dalam sebagian besar kasus, bantuan eksternal tidak akan memisahkan para pelaku reformasi dari politisi tradisional; keuntungan dari bantuan bersyarat (conditional assistance) boleh jadi terwujud dalam semakin besarnya kemungkinan bahwa suatu program reformasi akan tetap bertahan dan tumbuh berkembang.

Beberapa cara yang dapat ditempuh oleh masyarakat internasional untuk membantu penduduk di negara-negara miskin adalah dengan membantah apa yang menurut para pemimpin negara dinamakan "kekuasaan". Pengamat luar negeri dalam pemilihan umum, atau pengadilan arbitrasi internasional, terbukti membatasi kebebasan bertindak para pemimpin politik,. Kita harus membedakan kepentingan rakyat miskin dari kepentingan masyarakat yang mengklaim representasi atas kelompok tertentu.



Sumber: The Institutional Economics and Institutional Form ( p. 374-377)
Penulis: Christopher Clague.

Problem Facing Public Services in the Republic of Indonesia

Reform experienced by Indonesia in 1998 has led to major change nationwide. The change took place as far as governmental administration process. Bureaucracy as part of the government’s job description, was also affected by the reform. The movement towards change required bureaucracy to be more neutral, transparent, responsive, and accountable, politically. Such demand has pushed the bureaucrats to create a new frame and characteristic building in answering their responsibility to fulfill the needs of people as their constituents. In practice, Indonesian bureaucracy truly needed more experience to anticipate this massive change. For example, there were still many handicaps in providing public services. This situation opposed to the previously idealized dream, a government as a good servant for the citizens. Many elements of the current government administration were reluctant to fulfill the people needs voluntarily. Bureaucracy, which initially aimed to simplify administration process, became one the people avoided due to its complex nature.

As people live in a modern nation, they need a well-constructed bureaucracy because it is more and more important to fulfill the needs of the people. Development during the 20th century had shown an escalating demand on good governed bureaucracy, which responded to both state and people living within. Therefore, a poorly managed bureaucracy might bring the nation to an end of history. Bureaucrats’ role on present days are expected to play more active, as well as responsive, roles in providing needs of the people, whom they serve.

Bureaucracy as the performer of the administration and public service has a great responsibility to fulfill the needs and demands of the people in order to create stability and justice. Bureaucrats are not simply a public service provider. To limit bureaucratic functions means creating a short-term bureaucratic role, which is unable of giving desired outcome to the served ones. In order to achieve such idealism, there must be supporting facilities, for example, legal aspects that contain state administrative laws.

Bureaucracy is an important aspect that links government to the people, becomes the mediator of a co-operation between state apparatus and the citizens. Such important role makes it a mediating agent that serves common interests and makes available policies of the government. To accommodate this explanation, the government of the Republic of Indonesia has promulgated Act No. 23/2006 on Citizen Administration. The promulgation of Act No. 23/2006 agrees with the Constitution of the Republic of Indonesia 1945, in which article 28 (1) and article 34 (2) require the government to provide services to the citizens and to fulfill their basic needs. It is therefore public services provided by governmental apparatus have become obligation in each sector of life of the nation.

However, each staff of the Indonesian government must be aware of problems, which may prevent the service performance. In general, there were three major problems found during the study observation: 1) poor human resource quality in providing services to the citizens, 2) confusion in choosing between methods available to improve service quality to the citizens, and 3) confusion in choosing between alternatives to reconstruct the current regulations, which proved unmatched with the actual situation.

To overcome the above problem, the study had the following objectives. First, to describe and to explain the quality of the citizen administration provided by the governmental bureaucrats; second, to explain roles played by the governmental bureaucrats in improving service quality to he citizens; and third, to reconstruct regulations believed to help improve the service quality to the citizens. To this end, the study used a qualitative technique, in which concerned informants were collected and interviewed.

Having analyzed and processed the data collected during the observation, at last the study found as follows: 1) poor service quality to the people was due to misconduct of legal principles as the most responsible parties; 2) lacking contribution from the governmental bureaucrats in providing public services; and 3) absence of governmental mutual rules that met the requirements of the Act No. 23/2006 so that the regulatory construction were poorly performed.

Kedudukan Mahkamah Konstitusi di Negara Rusia

Mahkamah Konstitusi di negara Uni Soviet merupakan puncak dari sistem peradilan negara, yang kemudian dilestarikan oleh Rusia. Seperti lembaga peradilan lainnya, mahkamah konstitusi memiliki tugas melindungi dan menginterpretasi konstitusi. Hal demikian dilakukan dengan mengatasi sengketa atas yurisdiksi politik (termasuk sengketa antara pemerintah federal) dan memastikan cabang-cabang legislatif dan eksekutif tunduk kepada konstitusi. MK negara Rusia memiliki 19 orang anggota yang dinominasikan untuk jabatan selama 12 tahun oleh Presiden dan disahkan oleh Dewan Federasi.

Tugas Mahkamah Konstitusi terbatas, terutama, karena MK tidak dilindungi oleh konstitusi yang kuat sehingga para anggotanya tidak dapat menentukan tempat/kedudukan yang tepat di dalam lembaga peradilan negara Rusia baru.

Selain MK, Rusia juga memiliki Mahkamah Agung. MA di Rusia menjadi mahkamah tertinggi yang menyelenggarakan pengadilan perdata, pidana, dan administrasi serta memiliki wewenang untuk mengawasi kegiatan-kegiatan pengadilan tingkat di bawahnya. Sementara itu Mahkamah Arbitrase Agung mengurusi masalah-masalah ekonomi, bisnis, dan konstitusi ini juga dilengkapi dengan sistem penuntutan tunggal dan tersentral.

Neoliberalism

Neoliberalism is a label for economic liberalism used only by critics of the doctrine. The central principle of neoliberal policy is a noninterventionist "free market". The prime global advocate[citation needed] is the International Chamber of Commerce in Paris, whose self-defined trade and commerce mandate is: "to break down barriers to international trade and investment so that all countries can benefit from improved living standards through increased trade and investment flows". Neoliberalism is a terrible name for an important movement. Economic growth is most is important now. It is essential to almost everything else we want to achieve. Our hero is the risk-taking entrepreneur who creates new jobs and better products. Liberalism has become a movement of those who have arrived, who care more about preserving their own gains than about helping those in need.

Broadly speaking, neoliberalism seeks to transfer part of the control of the economy from public to the private sector,to, ostensibly, bring a more efficient government and to improve economic indicators of the nation. The definitive statement of the concrete policies advocated by neoliberalism is often taken to be John Williamson's "Washington Consensus", a list of policy proposals that appeared to have gained consensus approval among the Washington-based international economic organizations (like the International Monetary Fund (IMF) and World Bank).

Neoliberal movements ultimately changed the world's economies in many ways, but some analysts argue that the extent to which the world has liberalized may often be overstated.

Notable opponents to neoliberalism in theory or practice include economists Joseph Stiglitz, Amartya Sen, and Robert Pollin, linguist Noam Chomsky, geographer David Harvey, and the anti-globalization movement in general, including groups such as ATTAC. Critics of neoliberalism and its inequality-enhancing policies argue that not only is neoliberalism's critique of socialism (as unfreedom) wrong, but neoliberalism cannot deliver the liberty that is supposed to be one of its strong points. Daniel Brook's "The Trap" (2007), Robert Frank's "Falling Behind" (2007), Robert Chernomas and Ian Hudson's "Social Murder" (2007), and Richard G. Wilkinson's "The Impact of Inequality" (2005) all claim high inequality is spurred by neoliberal policies and produces profound political, social, economic, health, and environmental constraints and problems. The economists and policy analysts at the Canadian Centre for Policy Alternatives (CCPA) offer inequality-reducing social democratic policy alternatives to neoliberal policies. In addition, a significant opposition to neoliberalism has grown in Latin America, a region that has been seen only limited implementation of neoliberal policies. Prominent Latin American opponents include the Zapatista Army of National Liberation rebellion, and the governments of Venezuela, Bolivia and Cuba.

Some critics view neoliberalism as both an economic and political project aimed at reconfiguring class relations in societies. They allege that many "core countries" middle class and "labor aristocracy" families have become constrained by the cascading costs created by the conspicuous consumption of goods and services encouraged in the system, as a result many are losing allotments of time once used for personal development, recreation, family, community, and citizenship as a result of lower wages and inflation coupled with a decrease in the amount of or opportunity for advanced formal education and/or training. Moreover, they claim workers have been so heavily disciplined by capital and the capitalist state that, as Alan Greenspan said, they are "traumatized" and unable to politically moderate capitalist aggression. Daniel Brook's "The Trap: Selling Out to Stay Afloat in Winner-Take-All America" (2007) describes the anti-democratic effect of decreased middle class welfare. The massive U.S. military-industrial complex adds an extra layer of repression to working class "traumatization," according to (Harvey 2005), making resistance and inequality-reducing policy innovation seem unfeasible to most workers. A "traumatized" working class allows the capitalist class absolute reign, which Harvey claims – citing the economic crises of 1873 and the 1920s – to be disastrous for economies around the globe, states, and working class people; though, he points out, on average capitalists were not negatively impacted by these crises