Wednesday, November 17, 2010

Analysis on transparency and accountability of public service

One of factors that affect public service quality is delay of transparent and accountable public service implementation. Therefore, this public service should be performed transparently and accountably by every service unit of the government institutions in order to give impact of the bureaucratic performance in public service to the people welfare.
Effort to create a high quality, transparent, and accountable service, among others, has been legally promulgated within the State Apparatus Empowerment Minister Decree Number 63/KEP/M.PAN/7/2003 on General Principle of Public Service Administration. To give in depth explanation of the Decree, the government issued a supporting Act of the State Apparatus Empowerment Minister Decree Number KEP/26/M.PAN/2/2004 on Technical Guidance of Transparency and Accountability in the Public Service.
In addition to the quality of the public service, there must be a bureaucratic reform, in which reconstruction and modification of governmental system are prefereable, in particular, those related to institutional, managerial, and apparatus human resource aspects. Bureaucratic reform is implemented to create a good governnance. This reform, in addition, also becomes a strategic effort to build more empowered and more productive state apparatus ini carrying responsibilities to the governmental and developmental duties.
However, the bureaucratic reform can not apply effectively without adquate public control mechanism. The mechanism here relates to openness or transparency towards the public views by limiting confidentiality characteristics. In order to accommodate such target, the government, once again, has launched Government Act Number 14/2008 on Public Information Transparency.
One of important elements to implement a transparent state administration as part of public rights to get information access, the government should combat any individual interest that may deter the national goal towards common welfare in responsible manners. The rights on information access is also relevant with the needs for improving the people involvement in the process of desicision making. Public transparency is a significant aspect for the flow of the public information access. Keywords: Transparency, Accountability, and Participation in public service improvement.

Perkembangan Partai Politik di Nigeria

Secara garis besar, perkembangan partai politik yang berlangsung di Nigeria dapat dibagi ke dalam 4 (empat) tahap. Politik kepartaian di negara Nigeria telah mengalami liku-liku keadaan dari waktu ke waktu. Evolusi sistem partai telah mengalami tiga kali "percobaan" dari pihak militer, yang pada setiap dari tiga kasus tersebut selalu melarang keberadaan partai yang ada dan memaksakan diri untuk membuat partai baru yang bebas dari pengaruh daerah atau kelompok etnis tertentu. Hanya sedikit partai yang mampu membangun landasan nasional. Sebagian besar partai terbentuk berdasarkan wilayah, bukan berdasarkan ideologi. Tahap I: Sebelum dan Setelah Kemerdekaan (1944-1966) Akar dari sistem kepartaian di Nigeria dapat kita telusuri sejak awal abad XX, yakni saat terjadi pergerakan kaum nasionalis. Diantara para pemimpin pergerakan yang menonjol muncul nama Herbert Macaulay (1884-1946). Ia digambarkan sebagai "bapak nasionalisme Nigeria". Macaulay dipengaruhi oleh gerakan Pan-Afrika, yang mengadakan kongres secara periodik di Eropa dan Amerika Serikat antara tahun 1919 dan 1946. Kongres ini dipimpin oleh W.E.B. Dubois. Nasionalisme di Nigeria pada awalnya mendapatkan inspirasi dari National Congress of British West Africa, yang pada pertemuan perdananya tahun 1920 diikuti oleh Nigeria, Gold Coast (sekarang Ghana), Sierra Leone, dan Gambia. Pada tahun 1923 Macaulay mendirikan partai Nigerian National Democratic (NND) berpusat di kota Lagos dan aktif hingga akhir dekade 1930an. Partai ini berkeinginan membebaskan Afrika dari belenggu penjajahan. Bentuk partai memasuki tahap baru pada dekade 1930an dengan ditandai kembalinya sejumlah mahasiswa Nigeria yang belajar di luar negeri. Mereka mengadakan pertemuan dan menggagas ide demokrasi dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Adapun tokoh pemuda yang mendapatkan banyak sorotan kala itu ialah Nnamdi "Zik" Azikiwe (1904-1996), seorang dari suku Ibu yang bergabung dengan Macaulay pada tahun 1944 dan membentuk sebuah platform nasional bernama National Council of Nigeria and the Cameroons (NCNC, selanjutnya berubah nama menjadi National Convention of Nigerian Citizens). Tokoh pemuda lain bernama Obafemi "Awo" Awolowo (1909-1987). Ia mendirikan Action Group di Yoruba pada tahun 1948. Setahun kemudian, lahirlah Northern People's Congress (NPC) yang dipelopori oleh Alhaji Sir Ahmadu Bello, seorang pemuka agama (Saurdana) Sokoto dari daerah barat-laut Nigeria. NPC ini didirikan untuk menampung aspirasi warga yang berdomisili di darah utara. Tiga gerakan pemuda di atas (NND, NCNC, dan NPC) sama-sama menyerukan tentangan terhadap faham kesukuan (tribalisme). Namun ketiganya hanya mampu mendapatkan suara di daerah sendiri saat berlangsung Pemilu tahun 1951.Fakta ini menunjukkan bahwa tradisi politik Nigeria berkonsentrasi pada daerah dan kelompok etnis. Pada tahun 1959 berlangsung Pemilu tingkat federal. Ketiga partai ini sekali lagi ikut serta di dalamnya. Tidak ada partai yang meraih kemenangan mutlak dan hasil pemilu berlanjut pada terjadinya koalisi antara NCNC dan NPC. Pemimpin NPC, Ahmadu Bello, sebenarnya berpeluang besar untuk menjadi Perdana Menteri, akan tetapi ia memilih untuk tetap memegang jabatan Perdana Menteri Wilayah Utara karena ia merasakan bahwa jabatan yang sedang ia pegang telah cukup bagus baginya. Akhirnya, Perdana Menteri Nigeria diserahkan kepada ketua partai NPC, Alhaji Sir Abubakar Tafawa Balewa. Balewa inilah yang menjadi PM pertama Nigeria. Sementara itu, pihak oposisi dijalankan oleh Action Grup (AG) yang dikomandoi oleh Awolowo. Tahap II: Republik Kedua (1979-1983) Di tengah persiapan menuju pemerintahan sipil pada akhir era 1970an, rezim Obasanjo melarang politik etnis dengan menetapkan peraturan tentang bentuk partai. Keanggotaan partai wajib terbuka bagi semua warga, nama partai dan masalah yang diperjuangkan tidak boleh mengatasnamakan kepentingan etnis, dan markas besar partai harus berada di ibukota federal, Lagos. Obasanjo juga memimpin pembentukan Federal Election Commission (FEC) untuk mengadakan seleksi partai yang mendaftar, memastikan bahwa setiap partai telah memenuhi kriteria dan aturan baru. Sebanyak 19 organisasi mendaftarkan diri sebagai partai, tetapi hanya lima saja yang lulus uji dan berhak ikut dalam Pemilu 1979. Pemilu 1979 yang memilih presiden baru dimenangkan oleh Shehu Shagari dari National Party of Nigeria (NPN). Ia dinilai oleh banyak kalangan sebagai penerus NPC. Selain menang dalam Pilpres, NPC juga menang dalam National Assembly dan State Assemblies. Sementara itu Obafemi Awolowo hampir saja menang dalam pilpres untuk kedua kalinya bersama Unity Parrty of Nigeria (UPN), yang merupakan penerus dari Action Group. Sementara itu, semangat NCNC kembali dikobarkan lewat Nigerian People's Party (NPP) yang menjagokan Nnamdi Azikiwe sebagai calon presiden. Menjelang Pemilu 1983, NPN dituduh memanfaatkan FEDECO untuk memanipulasi pemilu, mengubah jadual untuk keuntungan kelompok, dan menolak berdirinya partai baru. Pemilu 1983 ini ditandai banyaknya kecurangan dan pelanggaran. Pada saat Shagari memenangkan pemilihan ulang dengan meraih suara yang lebih banyak daripada pemilu sebelumnya (34 persen pada tahun 1979 menjadi 48 persen pada tahun 1983), kredibilitas pemerintah baru mendapatkan pukulan telak. Tiga bulan kemudian, pemerintah mengalami kudeta dari pihak militer. Tahap III: Republik Ketiga (1989-1993) Di tengah usaha menumpas regionalisme dalam partai politik, rezim Babangida mencegah setiap orang yang berpengalaman dalam bidang politik untuk ikut serta dalam pemilu dengan harapan terjadi pergantian "orang lama yang berbaju baru" (old bridge) yang hendak melahirkan semangat dan ideologi kedaerahan dan kesukuan. Rezim Babangida mengambil langkah ini karena regionalisme berpengaruh negatif terhadap kelancaran jalannya pemerintahan sipil. Dalam pidatonya tentang rencana transisi (1987), Babangida mengemukakan bahwa dirinya hanya memperbolehkan dua partai peserta pemilu mendatang. FEDECO diganti oleh National Electoral Commission (NEC). Terdapat 13 kesatuan politik yang mendaftar pada pemilu 1989. Para pendaftar itu diminta untuk membuktikan bahwa mereka telah memiliki kantor pusat dan dukungan di seluruh negara bagian.Mereka juga harus membuktikan bersikap terbuka bagi siapa saja, tanpa memandang perbedaan ras dan agama. Babangida sendiri sebenarnya tidak terlalu peduli kepada partai. Ia menggambarkan partai-partai politik sebagai "sekumpulan orang yang tidak berpendidikan dan berfikiran sempit yang selama bertahun-tahun telah gagal dalam menjalani profesinya." NEC kemudian memutuskan hanya ada enam kelompok yang akan lulus seleksi. Namun setelah mendapatkan maskan dari pihak terpercaya bahwa kelompok-kelompok tersebut dimanipulasi dan ditengarai mendapatkan pengaruh dari politisi lama, maka akhirnya Babangida menolak ketigabelas kelompok tersebut dan menginstruksikan pemerintahannya untuk melakukan manifesto kepada dua partai baru, Social Democratic Party (SDP) dan National Republican Convention (NRC), "satu langkah kecil ke kiri, satu langkah kecil ke kanan, sedangkan pemerintah berada diantara keduanya," demikian Babangida menggambarkan status NRC dan SDP. Tidak satupun dari kedua partai ini berangkat dari kebijakan ekonomi pasar bebas bentukan Babangida, dan bahkan ia membebaskan keduanya untuk menentukan pengurus, warna, dan lambang sendiri-sendiri. NRC dan SDP hampir saja menjadi satu partai yang berbasis kedaerahan; NRC adalah pengusung aspirasi utara, menarik pendukung lama dari NPN, sedangkan SDP adalah pengusung aspirasi selatan, yang pendukungnya berasal dari daerah Yoruba dan Igbo. Hasil pemilu daerah bulan Desember 1990 cenderung mencuatkan kekhawatiran akan terus bertahanya regionalisme karena hanya dihadiri oleh 20 persen pemilih. Banyak dari mereka yang merasa bingung partai mana yang akan dipilih. Pada bulan Oktober 1991 pemilihan tahap awal (primary) gubernur diselenggarakan. Sekali lagi, muncul tanda-tanda campur tangan dari politisi lama. Sebulan kemudian, NEC menangguhkan hasil primari pada 13 negara bagian karena terjadi manipulasi, tertangkapnya sejumlah politisi lama, dan kemudian mengulangi primary di daerah-daerah bermasalah tersebut. Pilpres Nigeria berlangsung pada bulan Juni 1993 dan dimenangkan oleh Moshood Abiola (SDP). Walaupun ia seorang muslim, namun Abiola menjadi presiden sipil pertama dari daerah selatan yang mayoritas penduduknya beragama Kristen; artinya ia menghentikan tradisi muslim dan warga sipil yang hanya berkuasa di daerah utara. Babangida menghentikan pemilu dan menilai calon presiden dari NRC, Bashir Tofa, adalah titipan dari rezim militer. Krisis ini berlanjut pada pengunduran diri Presiden Babangida pada tahun 1993, dan sekali lagi sistem partai menjadi terhambat. Tahap IV: Republik Keempat (sejak 1998) Rezim Abacha mengadakan konferensi konstitusional seperti laporan yang ditulis pada bulan April 1995. Temuan dari kongres tidak diberitahukan kepada khalayak umum namun banyak pihak yang menilai bahwa di dalamnya termuat rekomendasi untuk kembali ke sistem politik multipartai. Abaca segera membentuk komisi pemilihan nasional dan menyelenggarakan pemilu daerah pada bulan Maret 1996 berdasarkan nir-partai atau "zero party". Munculnya partai-partai baru semakin jelas terlihat setelah terbentuknya National Democratic Coalition (NADECO) pada bulan Mei 1994. NADECO sendiri dipimpin oleh Michael Ajasu. Sepanjang tahun 1996, sebanyak 15 partai politik baru terbentuk, namun sepuluh diantaranya akhirnya didiskualifikasi oleh Abacha. Dari keputusan ini, terlihat bahwa Abaca berencana memanipulasi lima partai yang masih bertahan. Setelah Abaca meninggal tahun 1998, tampillah Abubakar. Ia mencanangkan pembentukan sebuah sistem partai yang baru. Ia membentuk Independent National Electoral Commission (INEC) pada bulan Agustus 1998 dengan hasil terbentuknya partai-partai baru yang menjadi pelaku utama lahirnya Republik keempat Nigeria. Partai-partai Politik yang ikut serta dalam pembentukan Republik IV: People's Democratic Party (PDP). Menyebut diri sebagai partai sentris. PDP beranggotakan mayoritas politisi veteran, termasuk sejumlah mantan pejabat militer yang menempatkan diri sebagai oposisi bagi rezim Abacha. Partai ini sukses dalam pemilu daerah 1998 dan mendorong dua partai oposisi untuk membentuk pakta elektoral. PDP juga berprestasi bagus dalam pemilihan National Assembly (1999) dan kandidat yang didukungnya, Olusegun Obasanjo, terpilih sebagai Presiden Nigeria dengan jumlah suara 62,8 persen. Obasanjo kembali terpilih dalam pilpres 2003. All Nigeria People's Party (ANPP). Parta terbesar kedua dan oposisi terbesar. ANPP mengambil posisi yang agak konservatif dan didukung oleh pengusaha kaya. Partai ini adalah pendukung Sani Abacha. Maka dari itu, ada yang menyebutnya sebagai Abacha People's Party. Pakta yang dibuat dengan Alliance for Democracy melahirkan faham liberal. Kandidat ANPP/AD dalam pilpres 1999 adalah Olu Falae, seorang birokrat dan mantan menteri keuangan yang ironisnya pernah dipenjara oleh Sani Abacha. Alliance for Democracy (AD). AD adalah sebuah partai daerah yang memiliki landasan dukungan kuat dari orang Yoruba di barat-daya Nigeria, memenangkan pemilu daerah di enam negara bagian. Reputasi buruk partai ini ialah saat terjadi kerusuhan saling lempar kursi dan meja dalam sebuah rapat.

The Dictatorship of Proletariat

Nothing is so treacherous as the obvious. Events during the past twenty or twenty-five years have taught us to see the problem that lurks behind the title of this part. Until about 1916 the relation between socialism and democracy would have seemed quite obvious to most people and to nobody more so than to the accredited exponents of socialist orthodoxy. It would hardly have occured to anyone to dispute the socialists' claim to membership in the democratic club. Socialists themselves of course -- except a few syndicalist groups -- even claimed to be the only true democrats, the exclusive sellers of the genuine stuff, never to be confused with the bourgeois fake.

Socialism in being might be the very ideal of democracy. But socialist are not always so particular about the way in which it is to be brought into being. The words Revolution and Dictatorship stare us in the face from sacred texts, and many modern socialists have still more explicitly testified to the fact that they have no objection to forcing the gates of the socialist paradise by violence and terror which are to lend their aid to more democratic means of conversion. 

Revolution and evolution may be both reconciled. Revolution need not mean an attempt by a minorty to impose its will upon a recalcitrant people; it may mean no more than the removal of obstructions opposed to the will of the people by outworn institutions controlled by groups interested in their preservation. The dictatorship of the proletariat will bear a similar interpretation.

The throughgoing democrat will consider any such reconstruction as vitiated in its roots. To try to force the people to embrace something that is believed to be good and glorious but which they do not actually want -- even though they may be expected to like it when they experience its results -- is the very hall mark of anti-democratic belief. It is up to the casuist to decide whether an exception may be made for undemocratic acts that are perpetrated for the solepurpose of realizing true democracy, provided they are not only means of doing so. For this, even if granted, does not apply to the case of socialism which, as we have seen, is likely to be democratically possible precisely when it can be expected to be practically successful. 

In any case however, it is obvious that any argument in favor of shelving democracy for the transitional period affords an excellent opportunity to evade all responsibility for it. Such privisional arrangements may well last for a century or more and means are available for a ruling group installed by a victorious revolution to prolong them indefinitely or to adopt the forms of democracy without the substance.

Source: Schumpter, Joseph A. 1994. Capitalism, Socialism, & Democracy. George Allen & Unwin Publisher.